Kamis, 08 April 2010

METODE PEMBAGIA HARTA WARIS

Disusun oleh:
RAKHMAT NOOR,M.S.I (Guru PAI MAN 3 Banjarmaisn)
PENDAHULUAN
Sebelum harta peninggalan menjadi hak ahli waris,. Lebih dahulu harus diperhatikan berbagai hak yang menyangkut harta peninggalan itu sebab pewaris (orang yang meninggal dunia yang meniggalkan harta warisan) pada waktu hidupnya mungkin mempunyai hutang yang belum terbayar. Meninggalkan suatu pesan (wasiat) yang menyangkut harta peninggalan, dan sebagainya.
Dan untuk dapat membagi sisa harta warisan (yakni setelah dikeluarkan terlebih dahulu hutang-hutang serta wasiat dari orang yang meninggal dunia) sesuai dengan ketentuan syari'at, haruslah kita ketahui urutan-urutan para ahli waris manakah yang harus didahulukan sesuai dengan kadar yang ditentukan, dan manakah di antara mereka yang berhak menerima sisanya.
Al-Qur'an telah menentukan bagian-bagian yang diterima oleh ahli waris (furuud al muqaddarah) yang seharusnya dapat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan tersebut, namun dalam praktek pelaksanaan pembagiannya sering dijumpai adanya perubahan-perubahan bagian yang diterima oleh ahli waris yang disebabkan adanya kelebihan atau kekurangan harta apabila diselesaikan menurut ketentuan yang ada dalam furuud al muqaddarah. Maka, hal ini perlu diperhatikan sepenuhnya agar tidak terjadi kekeliruan dalam perhitungan dan pembagian harta warisan.
Dari uraian di atas maka yang menjadi pokok permasalahan dalam pembahasana makalah ini adalah:
1. Hak-hak apa saja yang harus diperhatikan/dilaksanakan sebelum harta warisan dibegikan kepada ahli waris?
2. Bagaimana urutan-urutan penerima harta warisan?
3. Bagaimana cara penghitungannya dan pembagiannya?


PEMBAHASAN

1. Hak-Hak yang Harus Dilaksanakan Sebelum Harta Warisan Dibagikan Kepada Ahli waris.
Hak-hak yang harus didahulukan sebelum para ahli waris menerima bagiannya ada tiga, yaitu:
a. Biaya perawatan jenazah (tajhiiz al-janaazah)
Perawatan jenazah yang dimaksudkan disini meliputi seluruh biaya yang dikeluarkan sejak orang tersebut meninggal dunia, dari biaya memandikan, mengafan, mengantar (mengusung) jenazah dan menguburkannya. Besarnya biaya tidak boleh terlalu besar dan juga tidak boleh terlalu kurang. Tetapi dilaksanakan secara wajar.
Menurut Imam Ahmad, biaya perawatan harus didahulukan daripada membayar utang. Sementara Imam Abu Hanifah, Malik dan Syafi'i mengatakan, bahwa pelunasan utang harus didahulukan. Alasannya, jika utang tidak dilunasi terlebih dahulu, jenazah itu ibarat tergadai.
Termasuk dalam pengertian biaya perawatan adalah semua biaya yang dikeluarkan semasa muwarris sakit menjelang kematiannya. Tentu saja apabila harta yang ditinggalkannya mencukupi untuk membiayai perawatan ketika sakit.
b. Pelunasan Hutang-hutang Mayit (pewaris)
Setelah diambil untuk biaya penyelenggaraan jenazah, harta peninggalan diambil lagi untuk melunasi hutang mayit (pewaris). Apabila jumlah hutang ternyata lebih besar daripada jumlah harta peninggalan, pembayarannya dicukupkan dengan harta peninggalan yang ada. Ababila dalam hal yang akhir ini pihak kreditur lebih dari satu orang, kepada masing-masing kreditur hanya dibayarkan sesuai dengan perbandingan besar kecil utangnya. Ahli waris tidak dibebani kewajiban menutup kekurangannya. Apabila ahli waris menyanggpi untuk menutup kekurangannya, hal itu dipandang sebagai kebaikan ahli waris, bukan merupakan kewajiban hukum.
Para ulama mengklasifikasikan utang kepada dua macam, yaitu:
1. utang kepada sesama manusia, disebut dengan dain al-'ibad;
2. utang kepada Allah, disebut dengan dain Allah.
Utang mana yang harus didahulukan? Apakah utang kepada sesama manusia (dain al-'ibad) atau utang kepada Allah (dain Allah). Para ulama berbeda pendapat dalam dalam menjawab pertanyaan ini, yaitu:
1. Ulama Hanafiayah berpendapat bahwa utang kepada Allah telah gugur bersamaan dengan kematian seseorang. Peristiwa kematian dengan sendirinya menghilangkan kemampuan seseorang dan menghapus beban hukum yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya. Ahli waris tidak lagi berkewajiban melunasi utangnya. Ibadah haji misalnya, meskipun pada waktu hidupnya orang yang meningakl sudah mampu, tetapi belum dilaksanakan, dan terdapay sisa harta yang mencukupi untuk biaya haji itu, ahli warisnya tidak wajib membayar biaya haji tersebut. Sekiranya utang untuk biaya haji itu dilunasi, status hukumnya bukanlah sebagai pemenuhan utang kepada Allahtetapi sebagai sadaqah biasa (al-tabarru'). Demikian juga seandainya si mati pernah berwasiat agar utangnya kepada Allah SWT. dilunasi, wasiatnya berlaku sebagai wasiat biasa, yang harus tunduk kepada ketentuan bahwa maksimal wasiat adalah 1/3 dari harta yang ditinggalkannya, dan haris diberikan kepada orang yang tidakk termasuk ahli warisnya.
2. Mazhab Malikiyah berpendapat bahwa utang kepada sesama manusia (dain al-'ibad) didahulukan pelunasannya daripada utang kepada Allah. Argumentasi mereka, manusia sangat membutuhkan agar utang-utangnya dilunasi, karena orang yang berpiutang tentu sangat membutuhkannya, kecuali utang itu dibebaskannya. Sementara Allah Maha Kaya, karena itu tidak memerlukan utang-utang manusia kepada-Nya dilunasi. Di dalam pelaksanaan pelunasan utang, dain 'ainiyah didahulukan daripada dain muthlaqah.
3. Ibnu Hazm al-Andalusy dan ulama Syafi'iyah berpendapat, bahwa dain allah didahulukan daripada dain al-'ibad. Dain 'ainiyah didahulukan daripada dain muthlaqah. Dasar hukumnya adalah hadis berikut, yang artinya:
"seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW dan mengadu: "ibuku meninggal dunia sementyara ia mempunyai tanggungan puasa selama satu bulan. Apakah aku harus menunaikan (membayar fidyah)nya? Nabi bertanya: "jika sekiranya ia mempunyai utang apakah kamu akan melunasinya?" laki-laki itu menjawab: "ya". Kata Nabi SAW: "Utang kepada Allah lebih berhak untukdilunasi". (Riwayat al-Bukhari dengan makna).

4. Mazhab Hanabilah memendang dain Allah dan dain al-'ibad sama-sama harus dilunasi, apabikla harta peninggalannya mencukupinya. Jika terjadi kekurangan, maka harus dibayar secara seimbang menurut porsi harta yang ada. Pada dain al-'ibad, dain 'ainiyah didahulukan daripada dain muthlaqah.


c. Pelaksanaan Wasiat
Hak menunaikan wasiat dilakukan dalam batas-batas yang dibenarkan syara' tanpa perlu persetujuan para waris yaitu tidak lebih dari sepertiga harta peninggalan, sesudah diambil keperluan tajhiz dan keperluan membayar hutang, jika lebih dari sepertiga harta, diperlukanlah persetujuan para ahli waris.
2. Urutan Penerima / Pembagian Harta Warisan
Seluruh ahli waris tidaklah mesti berada dalam derajat atau tingkatan yang sama. Dengan demikian, pemberiannya didahulukan sesuai dengan martabat yang lebih tinggi tingkatannya, dengan urutan berikut ini:
a. Golongan Ashaab al-furuud
Adalah golongan ahli waris yang mendapat bagian tertentu. Mereka adalah orang-orang yang pertama kali diberi bagian harta peninggalan dari orang yang meninggal dunia sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam Al-Qur'an, hadis dan ijma'. Bagian untuk mereka ini ada yang 1/2, 1/4, 1/8, 1/3, 2/3, dan 1/6 dari harta warisan. Terdiri atas dua belas orang ; di antaranya empat laki-laki, yakni; ayah, kakek (ayah dari ayah dan seterusnya), saudara seibu, dan suami. Sedangkan dari kalangan perempuan delapan orang, yakni; istri, anak perempuan, saudara perempuan seibu sebapak, saudara perempuan sebapak saja, saudara perempuan seibu saja, anak perempuan dari anak laki-laki, ibu, nenek (ibu dari ayah dan seterusnya ke atas).
b. Golongan 'Ashabah
Adalah orang-orang yang mendapatkan bagian atas kelebihan harta peninggalan setelah dibagikan kepada orang-orang yang mendapat bagian tetap (ashaab al-furuud). Para 'ashabah ini adakalanya menerima seluruh harta warisan manakala tidak ada seorangpun di antara ashhaab al-furuud, terkadang menerima bagian sedikit, tetapi terkadang tidak menerima bagian sama sekali, karena telah habis dibagikan kepada ahli waris ashhaab al-furuud.
Di dalam pembagian sisa harta warisan, ahli waris yang memiliki hubungan kekerabatan terdekatlah yang lebih dahulu menerimanya. Konsekuensi cara pembagian warisan ini, maka ahli waris 'ashabah yang tingkat kekerabatannya berada dibawahnya, tidak mendapat bagian.
c. Radd Kepada ashhaab al-furuud
Jika ada kelebihan setelah dibagikan, tetapi tidak ada ahli waris yang berhak menerima peearisan berdasarkan sistem kelebihan, kelebihan itu dikembalikan kepada zawil furuud/ashhaab al furuud sebagai tambahan sesuai dengan bagiannya masing-masing, kecuali kepada suami dan istri. Hal ini karena suami dan istri tidak termasuk ke dalam golongan ini, sebab mereka menrima warisan hanya hubungan perkawinan bukan karena kekerabatan atau keturunan. Tetapi ada juga ulam yang menyatakan bahwa suami atau istri berhak juga menerima tambahan (radd) seperti itu, yang menurut Sayyid Saabiq, hal ini sesuai dengan pendapat Utsman.
d. Dzawi al-arham
Apabila ternyata tidak ada ahli waris, baik dari ashhaab al-furuud maupun dari 'ashaabah, maka harta warisan dibagikan kepada orang-orang selain mereka yang tergolong dekat ikatan kekeluargaan (rahim)nya yaitu Dzawi al-arham. Misalnya, saudara ibu (laki-laki atau perempuan) paman atau bibi dari pihak ibu, cucu laki-laki dari anak perempuan, dan sebagainya. Mengenai hal ini Malik dan Syafi'i , berpendapat dzawi al-arham tidak mendapat bagian dari warisan, harus diserahkan ke Baitul mal. Sedangkan menurut Abu Hanifah dan Ahmad serta sebagian ulama dikalangan mazhab Syafi'i harta dibagikan kepada dzawi al-arham.
e. Radd kepada suami atau istri
Apabila ashhaab al-furuud, 'ashaabah, dan dzawi al-arham semuanya tidak ada, sedangkan Baitul Mal tidak ada, atau dzawil al-arham ada tetapi mereka dianggap tidak berhak menerima warisan sebagaimana pendapat Syafi'i dan Malik, maka harta warisaan seluruhnya sesuai dengan undang-undang pewarisan yang berlaku dibeberapa negara muslim kini ditambahkan untuk suami atau istri yang ada.
f. Ashabah Sababiyah
Seseorang yanag pernah memerdekakan budaknya, dianggap sebagai 'ashabahnya, apabila si mantan budak itu tidak mempunyai ahli waris lain. Ketentuan I I tentunya sekarang sudah tidak ada lagi.
g. Orang yang mendapat wasiat
Apabila semua hali waris yang tersebut di atas tidak ada, maka harta warisan diberikan kepada orang yang menerima wasiat dari yang meninggal dunia. Ini adalah pendapat Imam Hambali dan Hanafi.
h. Baitul Mal
Apabila orang yang meningal dunia sebatang kara, benar-benar tidak mempunyai seorang waris yang berhak menerima warisannya, sebagaimana disebutkan di atas, maka harta tersebut diserahkan kepada Baitul-Mal.
Selanjutnya akan diterangkan tentang metode pebagian harta warisan beserta cara penghitungannya.
3. Metode Pembagian Harta Warisan dan Cara Penghitungannya
Sebagaimana kita maklumi bahwa harta pusaka hanya diberikan kepada ahli waris yang berhak atas harta warisan itu, maka sebelum dibagikan hendaknya diadakan pencatatan seluruh ahli waris dengan menyebut status hubungannya dengan si mati serta jenis kelaminnya. Ahli waris yang terhalang atau terdinding diocoret. Sehingga diperoleh data ahli waris yang berhak menerima warisan.
Setelah tersusun dengan rapi yang benar-benar berhak menerima bagian dari harta pusaka itu, barulah dituliskan dibelakang masing-masing ahli waris itu bagian yang menjadi haknya masing-masing sesuai dengan ketentuan dalam hukum waris Islam, kemudian dibagilah harta pusaka itu kepada ahli waris sebagaimana mestinya. Untuk pembagiannya dapat digunakan beberapa metode berikut ini:
a. Metode Usuul al-Masaail (Menentukan Asal Masalah)
Yang disebut asal masalah ialah angka yang menjadi dasar pembagian harta pusaka dalam sesuatu masalah, yakni dibagi beberapa bagiankah keseluruhan harta pusaka itu sehingga bagian masing-masing ahli waris dapat diterimakan sebagaimana mestinya.
Adapun cara menentukan angka yang menjadi asal masalah itu ialah dengan memperhatikan angka-angka pemecah yang terdapat pada bagian-bagian ahli waris dzawil furuud dalam suatu kasus, yaitu dengan mencari kelipatan persekutuan terkecil (KPT) dari angka-angka pembagi atau pemecah yang ada pada bagian-bagian ahli waris yang bersangkutan.
Langkah pertama yang harus ditempuh di dalam merumuskan asal masalah dalam pembagian warisan adalah menyeleksi siapa ahli waris yang termasuk dzawi al-arham, ashhaab al-furuud, ashhaab al-'ashabah, ahli waris yang mahjub, kemudian menetapkan bagian-bagian tertentu yang diterima oleh masing-masing ashaab al-furuud.
Contoh penentuan bagian warisan: Apabila seseorang meninggal dunia, ahli warisnya terdiri dari:
1. Suami
2. 2 anak perempuan
3. Cucu perempuan grs perempuan
4. Ibu
5. 3 saudara seibu
6. Bapak
7. Nenek grs ibu
8. Anak laki-laki saudara seibu
9. Paman
10. Kakek
Dari seleksi yang dilakukan pada seluruh ahli waris yang ada, dapat diketahui bahwa ahli waris yang termasuk zawi al-arham adalah:
1. Cucu perempuan garis perempuan
2. Anak laki-laki saudara seibu
Adapun ahli waris yang terhalang (mahjub) adalah:
1. 3 saudara seibu, terhalang oleh anak perempuan dan bapak
2. Nenek garis ibu, terhalang oleh ibu dan bapak
3. Paman, terhalang oleh bapak
4. Kakek, terhalang oleh bapak
Jadi ahli waris yang menerima bagian dan besarnya (ashaab al-furuud al-muqaddarah) adalah sebagai berikut:
1. Suami 1/4 (karena ada anak)
2. 2 anak perempuan 2/3 (karena ada dua orang)
3. Ibu 1/6 (karena ada anak)
4. Bapak 1/6 + 'asabah (karena bersama dengan anak perempuan)
Selanjutnya ditentukan asal masalahnya, dalam hal ini ada empat cara (nisbah) yaitu:
1. Tamaatsul atau mumaatsalah (serupa), yaitu apabila angka penyebut/pembagi masing-masing bagian ahli waris sama besarnya. Maka angka asal masalahnya adalah mengambil angka tersebut.
Contoh:
Ahli Waris Bagian Asal Masalah = 3
1. A 2/3 2
2. B 1/3 1
3. C 'Ashabah 0
Jumlah cocok 3
2. Tadaakhul atau Mudaakhlah (termasuk), yaitu apabila angka penyebut masing-masing bagian ahli waris, yang satu (yang kecil) bisa masuk untuk membagi angka penyebut yang lain yang lebih besar. Maka angka penyebutnya diambil angka penyebut yang besar.
Contoh:
Ahli Waris Bagian Asal Masalah = 6
1. A 1/3 2
2. B 1/6 1
3. C 'Ashabah 3
Jumlah cocok 6
3. Tawaafuq atau Muwaafaqah (sepakat), Yaitu apabila angka penyebut pada bagian ahli waris tidak sama, angka penyebut yang kecil tidak bisa untuk membagi angka penyebut yang besar, tetapi masing-masing angka penyebut yang ada dapat dibagi oleh angka yang sama. Maka asal masalahnya adalah hasil perkalian bilangan tawafuq (penyebut) tersebut dibagi dengan 2. (Dalam hal ada beberapa bilangan tawafuq, maka bilangan tawafuq terkecil di abaikan).

Contoh:
Ahli Waris Bagian Asal Masalah = 24
1. A 1/6 4
2. B 1/8 3
3. C 'Ashabah 17
Jumlah cocok 24
4. Tabaayun atau Mubaayanah (berlainan), jika bilangan-bilangan penyebut tidak bisa dibagi oleh bilangan penyebut terkecilnya atau tidak bisa dibagi dengan bilangan yang sama, selain angkla 1 (tabayun), maka asal masalahnya adalah hasil perkalian dari bilangan bilangan tabayun tersebut. Atau dengan mengelikan angka penyebut masing-masing.

Contoh:
Ahli Waris Bagian Asal Masalah = 6
1. A 1/2 3
2. B 1/3 2
3. C 'Ashabah 1
Jumlah cocok 6
Apabila jumlah bagian ahli waris (saham) tidak sama/cocok dengan asal masalah maka hal ini akan menjadi masalah 'Aul dan Radd ('Aul jika jumlah saham lebih besar dari asal masalah, Radd apabila jumlah saham lebih kecil dari asal masalah.
Bila terdapat angka-angka yang tamatsul, maka di antara angka-angka itu hanya diambil satui angka lalu dibandingkan dengan angka yang lain. Seperti; 1/6, 1/6, dan 1/3. Angka 6 dengan 6 tamatsul, maka ambil satu angka, yaitu 6. Kemudian bandingkan dengan angka 3. antara 6 dan 3 tadakhul, maka ambil angka yang terbesar. Maka asal masalahnya 6.
Bila tamatsul dan tawafuq, seperti; 1/6, 1/6, dan 1/8. diambil angka 6 dan bandingkan dengan angka 8. Antara 6 dan 8 tawafuq. Maka dibagi satu di antaranya dengan 2 lalu dikalikan dengan angka yang lain, jadi 6 : 2 x 8 = 24. Maka asal masalahnya 24.
Bila tamatsul dan tabayun, seperti; 1/3, 2/3, dan 1/4. diambil angka 3 dan bandingkan dengan angka 4. Antara 3 dengan 4 tabayun. Maka asal masalahnya 3 x 4 = 12.
Demikianlah dasar cara mencari asal masalah, yaitu bila angka penyebut dari beberapa ketentuan itu berlainan, maka hendaklah disamakan dengan jalan mencari persekutuan yang terkecil dari beberapa penyebut ketentuan.
Contoh cara penggunaan angka asal masalah dalam pembagian harta warisan:
1. Jika seseorang meninggal dunia, harta warisan yang ditinggalkan Rp 24.000.000,- ahli warisnya terdiri dari: suami, anak perempuan, cucu perempuan garis laki-laki dan saudara perempuan sekandung. Maka penerimaan masing-masing adalah:

Ahli waris bag am=12 Harta warisan Penerimaan
Rp 24.000.000

Suami 1/4 3 3/12 x Rp 24.000.000 = Rp 6.000.000
Anak. Pr 1/2 6 6/12 x Rp 24.000.000 = Rp 12.000.000
Cucu pr grs lk 1/6 2 2/12 x Rp 24.000.000 = Rp 4.000.000
Sdr pr skdng 'as 1 1/12 x Rp 24.000.000 = Rp 2000.000
Jumlah 12 = Rp 24.000.000

2. Jika seseorang meninggal dunia, harta warisan yang ditinggalkan Rp 96.000.000,- ahli waris yang ditinggalkannya terdiri dari: istri, 2 anak perempuan, anak laki-laki, ayah dan ibu, serta saudara perempuan sekandung. Maka penerimaan masing-masing adalah:
Ahli waris bag am=24 Harta warisan Penerimaan
Rp 96.000.000

Istri 1/8 3 3/24 x 96.000.000 = Rp 12.000.000
2 ank pr
'as 13 13/24 x 96.000.000 = Rp 52.000.000
Ank lk-lk
Ayah 1/6 4 4/24 x 96.000.000 = Rp 16.000.000
Ibu 1/6 4 4/24 x 96.000.000 = Rp 16.000.000
Sdr pr skdg mhjb - - = -
Jumlah 24 = Rp 96.000.000
Bagian 2 anak perempuan masing-masing Rp 52.000.000 : 4 = 13.000.000,- sementara anak laki-laki menerima bagian sebesar Rp 13.000.000 x 2 = 26.000.000,-.
b. Metode Tashih Al-Masaail
Apabila dalam suatu kasus pembagian harta pusaka ternyata bagian (saham) masing-masing ahli waris itu telah bulat dan sesuai (cocok) dengan asal masalah misalnya dalam hal jumlah masing-masing ahli waris dalam satu derajat itu hanya seorang saja, dan jumlah keseluruhan bagian (saham) ahli waris itu cocok dengan angka dalam asal masalah, maka yang demikian itu telah dipandang cocok, tidak perlu ditashhihkan lagi.
Tetapi bila jumlah bila jumlah ahli waris dalam satu kelompok sederajat itu terdiri dari beberapa orang, baik itu laki-laki semua atau ada yang perempuan, maka bagian-bagian masing-masing orang dari kelompok ahli waris ini akan berujud pecahan pula sesuai dengan perimbangan bagian masing-masing ahli waris dalam satu kelompok tersebut, misalnya dari kelompok anak laki-laki terdiri dari 3 orang, kelompok anak perempuan terdir dari 5 orang dan lain sebagainya, maka angka-angka penyebut dari bagian masing-masing anggota dari kelompok itu perlu dibulatkan. Maka perlu ditashhihkan.
Dari uraian di atas, dapatlah dipahami bahwa tashhih al-masalah adalah upaya memperbaiki atau mendapatkan asal masalah baru pada masalah-masalah yang terdapat hasil pembagian saham satu atau beberapa kelompoknya berupa pecahan.
Contoh 1 :
Ahli Waris Bagian Asl Mslh = 6 Tashhih 6 x 3 = 18
1. Ayah 1/6 1 1 x 3 = 3
2. Ibu 1/6 1 1 x 3 = 3
3. 2 cucu lk 4 4/6 x 12 = 8
4. 2 cucu pr 'asabah 4 2 2/6 x 12 = 4
Jumlah cocok 6 = 18
Keterangan.
Ayah dan Ibu mendapat 1 bagian. 4 orang cucu yang tidak sejenis mendapat 4 bagian inilah yang perlu pentashhihan. Karena hak laki-laki dua kali hak perempuan, maka 4 bagian tersebut harus dibagi dengan perbandingan itu. Berarti dua cucu perempuan berhak 2 bagian, dua cucu laki-laki haknya 4 bagian menjadilah seluruhnya dihitung 6 kepala untuk memperhitungkan 4 bagian yang menjadi hak bersama. KPT dari 4 dan 6 adalah 12. Jadi dua cucu perempuan mendapat 2/6 x 12 = 4 dan dua cucu laki-laki mendapat 4/6 x 12 = 8.
Mengingat angka 12 yang menjadi hak bersama para cucu itu semula 4, berarti telah dilipatkan 3 maka bagian ayah dan ibu juga dilipatkan 3.
Jika harta yang dibagi pada contoh di atas adalah Rp 18.000.000,- maka masing-masing ahli waris akan mendapatkan bagian/penerimaan sebagai berikut:
1. Ayah = 3/18 x Rp 18.000.000 = 3.000.000
2. Ibu = 3/18 x Rp 18.000.000 = 3.000.000
3. 2 cucu lk = 8/18 x Rp 18.000.000 = 8.000.000
(Rp 8.000.000 : 2 = 4.000.000,- perorang)
4. 2 cucu pr = 4/18 x Rp 18.000.000 = 4.000.000
(Rp 4.000.000 : 2 = 2.000.000,- perorang)
Contoh 2 :
Ahli Waris Bagian Asl Mslh = 24 Tashhih 24 x 15 = 360
1. Istri 1/8 3 3 x 15 = 45
2. Ibu 1/6 4 4 x 15 = 60
3. 3 ank pr 2/3 16 16 x 15 = 240
4. 5 cucu lk pcr lk 'asabah 1 1 x 15 = 15
Jumlah cocok =24 = 360
Keterangan.
Karena saham yang 16 untuk 3 anak perempuan dan saham yang 1 untuk 5 cucu laki-laki pancar laki-laki tidak bisa dibagi (mmaksudnya tidak menghasilkan bilangan yang bulat), maka untuk kelompok anak perempuan harus dikalikan 3, untuk kelompok cucu laki-laki harus dikalikan 5. Bila dikalikan 3, maka saham-saham untuk kelompok anak anak perempuan bisa dibagi, tetapi tidak untuk cucu laki-laki. Bila dikalikan 5, maka saham untuk kelompok cucu laki-laki bisa dibagi, tetapi tidak untuk anak perempuan. Jadi pentashhihan untuk masalah ini adalah dikalikan dengan KPK-nya dari 3 dan 5, yaitu 15.
Jika harta yang dibagi pada contoh di atas adalah Rp 360.000.000,- maka masing-masing ahli waris akan memperoleh bagian sebagai berikut:
1. Istri = 45/360 x Rp 360.000.000 = Rp 45.000.000,-
2. Ibu = 60/360 x Rp 360.000.000 = Rp 60.000.000,-
3. 3 ank pr = 240/360 x Rp 360.000.000 = Rp 240.000.000
(Rp 240.000.000 : 3 = 80.000.000,- perorang)
4. 5 anak cucu lk = 15/360 x Rp 360.000.000 = Rp 15.000.000
(Rp 15.000.000 : 5 = 3.000.000,- perorang.

c. Perhitungan Pembagian Warisan Apabila Ahli Waris Terdiri Dari Ashab al-furud dan 'Asabah.
Apabila dalam kasus pembagian warisan, ahli warisnya terdiri dari ashab al-furud dan ashab al-'asabah, langkah-lanhkah yang perlu diperhatikan adalah:
1. Menetapkan berapa bagian masing-masing ashab al-furud (Dalam hal ini dilakukan seleksi mana ahli waris yang mahjub).
2. Menetapkan ahli waris ashab al-'asabah yang lebih dahulu berhak menerima bagian sisa dengan ketentuan:
a. Jika masing-masing ahli waris sebagai 'asabah binafsih, maka ahli waris yang terdekatlah yang menerima bagian sisa.
b. Jika ada ahli waris yang menerima 'asabah bi al-ghair, maka mereka bergabung menerima 'asabah.
c. Jika ada ahli waris yang menerima 'asabah ma'a al-ghair, berarti terjadi perubahan, yang semula ashab al-furud menjadi penerima 'asabah, tetapi ahli waris penyebab (mu'assib)nya, tetap menerima bagiannya semula.
3. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa kadang-kadang ahli waris 'asabah menerima bagian besar, kadang-kadang sedikit, dan tidak jarang tidak menerima sama sekali.

Contoh : ashab al-furud bersama ashab al-'asabah binafsih.
Jika seseorang meninggal dunia, ia meninggalkan seorang istri, ibu, bapak, anak laki-laki, dan cucu laki-laki. Maka yang menjadi ahli waris adalah; istri, ibu, bapak, dan anak laki-laki (cucu laki-laki tidak menjadi ahli waris karena terhalang oleh anak laki-laki). Harta warisannya sejumlah Rp 96.000.000,- maka bagian masing-masing adalah:
Ahli waris Bag Am = 24 Harta warisan Penerimaan
Rp 96.000.000
Istri 1/8 3 3/24 x 96.000.000,- = Rp 12.000.000,-
Ibu 1/6 4 4/24 x 96.000.000,- = Rp 16.000.000,-
Bapak 1/6 4 4/24 x 96.000.000,. = Rp 16.000.000,-
Anak lk 'as 13 13/24 x 96.000.000 = Rp 52.000.000,-
Jumlah 24 = Rp 96.000.000,-
Contoh : ashab al-furud bersama ashab al-'asabah bi al-ghair.
Jika seseorang meninggal dunia harta warisannya sebesar Rp 19.200.000,- dan ahli warisnya terdiri : suami, ibu, anak laki-laki dan 2 anak perempuan. Maka bagian masing-masing adalah :
Ahli waris Bag Am = 12 HW Rp 19.000.000 Penerimaan
Suami 1/4 3 3/12 x 19.200.000 = Rp 4.800.000
Ibu 1/6 2 2/12 x 19.200.000 = Rp 3.200.000
Anak lk 'as 7 7/12 x 19.200.000 = Rp 11.200.000
2 anak pr 'as
Jumlah 12 = Rp 19.200.000
Anak laki-laki menrima bagian 2/4 x Rp 11.200.000 = Rp 5.600.000 dan anak perempuan masing-masing menerima sebesar 1/4 x Rp 11.200.000 = Rp 2.800.000.
Contoh : ashab al-furud bersama ashab al-'asabah ma'al ghair.
Jika seseorang meniggal dunia dan harta warisannya Rp 48.000.000 dan ahli warisnya terdiri dari istri, anak perempuan, cucu perempuan garis laki-laki, dan saudara perempuan sekandung. Maka bagian masing-masing adalah:
Ahli waris Bag Am=24 HW Rp 48.000.000 Penerimaan
Istri 1/8 3 3/24 x 48.000.000 = Rp 6.000.000
Anak pr 1/2 12 12/24 x 48.000.000 = Rp 24.000.000
Cucu pr grs lk 1/6 4 4/24 x 48.000.000 = Rp 8.000.000
Sdr pr skd 'as 5 5/24 x 48.000.000 = Rp 10.000.000
Jumlah 24 = Rp 48.000.000











PENUTUP

Dari penjelasan di atas maka dapatlah diambil suatu kesimpulan bahwa dalam pemnagian harta warisa ada beberapa hal yang perlu diperhatiokan diantaranya adalah:
1. Menentukan siapa-siapa yang berhak menerima dari ahli waris yang ada, untuk ini harus dilihat pula siapa-siapa saja yang terdinding (mahjub) dan siapa yang tidak.
2. Menentukan urutan orang yang menerima warisan.
3. Menentukan berapa bagian masing-masing menurut ketentuan dari ahli waris dzawul furud yang berhak menerima warisan itu, dan siapa-siapa yang akan menjadi 'asabah.
4. Setelah hal tersebut, maka dapatlah dimulai hitungan-hitungan faraid. Dalam penghitungannya biasanya menggunakan angkan-angka pecahan, maka untuk mempermudah penghitungannya angka penyebutnya masing-masing harus disamakan, dalam hal ini ada dua cara yang dapat dilakukan yaitu dengan metode usul al-masail dan metode tashih al-masail.
5. Masalah Aul dan Radd pada makalah ini tidak penulis bahas karena kedua masalah itu akan dibahas oleh pemakalah berikutnya.
6. Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, dan kritik serta saran sangat penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Siddik, Hukum Waris Islam dan Perkembangannya di Seluruh Dunia Islam, Jakarta: Widjaya, 1984

Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, Yogyakarta: UII Press, 2004.

Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, Jakarta: PT. RajaGrafindo persada, 2002.

Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, Bandung: CV Pustaka Setia, 1999.
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Fiqih Mawaris, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001.

Muhammad Bagir Al-Habsyi, Fiqih Praktis Menurut Al-Qur'an, As-Sunnah dan Pendapat Para Ulama, Bandung: 2002.

Zakiyah Daradjat, dkk, Ilmu Fiqih, Jakarta: Dir Jen Pembinaan Kwelembagaan Agama Islam Depag RI, 1986.

Suparman Usman dan yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002
Suparman Usman dan yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002.